Senin, 27 Juni 2011

Bagaimana Perasaanmu?

Suatu hari di rumah yang megah, tersebutlah sebuah keluarga besar yang makmur dan marganya terkenal di mana-mana. Setiap orang yang mendengar marga mereka, diyakini akan tunduk patuh dan menjadi seorang penjilat.

Keluarga itu tidak menyedihkan.., karena seperti yang dikatakan, mereka makmur. Karena semuanya punya uang, mereka tidak terlalu butuh bentuk perhatian dari keluarga. Apa pun bisa mereka lakukan dan mereka pertanggung-jawabkan. Sayangnya, salah satu mama di keluarga tersebut mencoba merubah kebiasaan dengan mengikuti perjalanan anaknya.

"Apa kabar, nak?" tanya mama.

"Biasa saja, kenapa?" jawab si anak, yang membalas dengan pertanyaan. Tidak ada kebiasaan untuk saling menanyakan kabar di keluarga tersebut. Jadi, perlakuan mama terkesan aneh baginya.

"Aduh.., memangnya mama nggak boleh nanya kabar, ya?"

"Aneh saja, ma. Yang biasanya nanya kabar aku kan cuma penjilat-penjilat yang senang cari muka."

"Maksud kamu, mama termasuk jadi penjilat? Begitu?"

"Aku sih nggak ngomong begitu, ma."

Mama mencoba bersabar. Beliau tersenyum kepada anaknya dan berpesan untuk selalu hati-hati dan jangan bertindak kelewatan. Kemudian, beliau keluar dari kamar anaknya dan mencari cara-cara untuk menjadi dekat kepada anak di Google.

Beberapa hari kemudian, mama kembali menghampiri anaknya.

"Nak, bagaimana sekolahnya?" tanya mama mengawali pembicaraan.

"Hmm, biasa saja. Kenapa, ma?" seperti biasa, anaknya berbalik tanya.

"Teman-teman kamu apa kabarnya? Kok jarang datang lagi ke rumah?" mama menghiraukan pertanyaan menyebalkan dari anaknya sambil terus bersabar.

"Siapa? Memangnya mama pernah ketemu?"

"Hmm, mama cuma pernah lihat tasnya. Yang ada gambar Cinderella itu."

"Oh, dia. Baik-baik kok, kenapa mama nanya-nanya? Mau bikin pesta? Atau mama bikin arisan sama mamanya?"

"KAMU KENAPA SIH SETIAP MAMA NANYA SELALU DITANYA KENAPA?!" mama mulai berang.

Anak itu diam. Meski sikapnya cuek, dia tidak suka mamanya marah kepadanya.

Akhirnya, sang mama pergi meninggalkan anaknya sendirian di ruang TV dan pergi belanja. Begitulah caranya menghilangkan stress, menghabiskan uang suaminya.

Pada malam hari, si anak yang merasa tidak enak karena telah membuat mamanya marah berkonsultasi kepada papanya. Sang papa cukup bijak, karena bagaimana pun dia harus selalu menghadapi penjilat-penjilat yang berada di sekelilingnya.

"Pa, mama aneh," katanya.

"Hoo, dia memang selalu aneh. Memangnya dia kenapa?" tanya papa.

"Masa mama nanya-nanya kabarku, kabar teman-temanku, sekolahku kayak gimana.."

"Itu namanya mama perhatian sama kamu," sela papa.

"Nah, itu anehnya!" si anak berseru, seolah mendapatkan sesuatu. "Masa yang biasanya cuma belanja, nonton, fitness, arisan, sama main internet begitu mendadak jadi perhatian. Kan aneh, pa. Jadinya aku ngga nyaman."

"Nak," kata papa. "Maksudnya mama tuh baik. Mau mencoba biar bisa dekat sama kamu. Coba deh kamu balas dengan yang baik-baik juga."

"Masalahnya, aku nggak tahu caranya berbaik-baik sama mama."

"Kalau sama kolega papa, kamu bisa tuh balas baik-baik?"

"Ya itu kan beda, pa. Aku cukup balas sekesnanya saja. Yang klise-klise. Biar mereka bingung mau melanjutkan pembicaraan seperti apa. Nah, kalau mama? Digituin nanti ngamuk jadinya."

"Hahaha! Ya, memang begitulah mama kamu."

"Gimana, dong kalau begitu?"

"Hmm, kamu jawab jujur saja setiap yang dia tanyakan," jawab papa mengakhiri pembicaraan. Kemudian papa kembali sibuk dengan laptopnya. Tanda si anak harus segera keluar.

Mama mendatangi anaknya lagi, kali ini sambil membawa makanan-makanan ringan. Katanya, hal itu bisa memperhangat suasana.

"Menyenangkan, hari ini?" tanya mama.

"Ya, menyenangkan," jawab si anak.

"Seperti apa?"

"Err..," si anak agak bingung untuk menjelaskan. Dan sesuai dengan saran ayahnya, dia menceritakan apa yang terjadi padanya hari itu. Mulai dari bagaimana kegiatannya di kelas hingga isi pesan teman-temannya yang dikirimkan hari itu. Mamanya tersenyum puas, merasa bahwa anaknya sudah cukup membuka diri.

Kebiasaan yang tidak ada tapi diada-adakan itu berlanjut. Si anak tetap tidak tersenyum atau berbinar ketika harus berbincang dengan mamanya. Dan dia tahu, dia tidak perlu memakai topeng untuk itu. Seperti yang sering dikatakan papanya, "Tidak perlu memakai topeng kepada orang yang membutuhkan kamu, kecuali kamu juga membutuhkan dia. Tidak perlu memaksakan diri untuk orang yang menginginkan kamu dipandang olehnya, kecuali kamu juga ingin dipandang olehnya."

Begitulah, si anak selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan mamanya. Tidak ada topik lain yang berarti, isi pembicaraan mereka hanya pertanyaan mama dan jawaban si anak. Memang tidak sesuai dengan perkembangan yang diharapkan oleh mama, maka dari itulah beliau masih senang berdepresi-ria atas keinginan yang tidak terpenuhi.

Profesional ini ternyata kalah dari mamanya. Dia harus merelakan diri untuk belajar ikhlas tersenyum dan menyambut hangat apa-apa perbincangan mamanya. Tidak apa, toh bagaimana pun ada ikatan darah dan ekonomi di antara mereka.

"Ma, hari ini aku praktek bedah di pelajaran biologi," kata si anak, memulai pembicaraan. Sang mama sangat senang, dan melanjutkan pembicaraan dengan lebih terbinar-binar dibanding sebelumnya. Lalu beliau mengajak anaknya makan malam berdua di sebuah restoran terkenal.

Sebenarnya, tidak ada yang spesial dari setiap pembicaraan mereka. Hanya menceritakan ulang apa yang telah terjadi di hari itu. Tidak pernah ada pertanyaan seperti, "Apa perasaanmu hari ini?", "Memang, menurutmu harusnya bagaimana?", "Kamu tidak apa-apa, kan?", atau yang sejenis seperti itu. Hanya saling bertukar cerita. Dan direspon dengan kalimat, "Oh, begitu."

Untungnya.., atau mungkin sialnya, sang mama cukup sering membuka Google untuk mengumpulkan informasi. Sehingga beliau mempunyai cara-cara baru mendekatkan diri dengan anaknya. Beliau tidak membahas sedikit pun tentang hal itu dengan suaminya, karena lebih percaya pada internet. Dan ya, memang begitulah kebenarannya.

Hari-hari berikutnya dilewati lebih baik lagi. Mereka mulai bisa berdiskusi, meski hanya masalah-masalah tidak penting seperti bagaimana rasa makan siang hari itu, atau mengenai gosip hangat yang diputar di media.

Dan sampailah mereka pada tahap di mana keterbukaan masih cukup diragukan. Mama ingin mendiskusikan mengenai sikap papa dari anaknya itu.

"Menurut kamu, papa itu sibuknya aneh nggak, sih?" tanya mama.

"Nggak," jawab si anak singkat.

"Ih, aneh tau. Bayangin, masa seminggu bisa lembur 3 hari. Hari Minggu suka masuk kantor. Sebulan sekali bisa dinas ke luar kota."

"Memang menurut mama, papa bukan kerja?"

"Iya, kayaknya sih main perempuan deh."

"Hoo."

"Begitu saja? Kok kembali cuek lagi?"

"Apa coba, ma?" si anak berdiri, memandang mamanya sebentar. Lalu pergi. Tidak boleh marah di hadapan klien, nasihat papanya setiap hari. Maka dia kembali ke mamanya dan meminta maaf. Gantian, mama yang meninggalkan dia sambil mendengus kesal.

Si anak tidak menceritakan hal itu kepada papanya. Dia merasa itu tidak penting, dan dia tidak menjaga jarak kepada mama. Karena itulah, di hari-hari kemudian, mereka kembali berbincang. Pembicaraannya tentu tidak menghangatkan atau mendekatkan, setidaknya mengisi waktu luang.

Hal itu berlanjut terus. Sampai anak itu naik kelas. Lulus sekolah. Masuk kuliah. Mengerjakan skripsi. Wisuda. Mendapat pekerjaan. Promosi. Naik jabatan.., namun tidak sampai menemukan pasangan. Karena selamanya, anak itu kering akan perasaan cinta.

Dalam mimpi, sesekali, anak yang seumur hidupnya membujang itu sayup-sayup mendengar suaranya sendiri: Bagaimana perasaanmu hari ini? Menurutmu, apa yang harus kita lakukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar